Dampak perkembangan teknologi terhadap daerah tertinggal





 Hasil gambar untuk perkembangan teknologi

Masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan. Perubahanyang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju kearah kemunduran. Terkadang perubahan- perubahan yang terjadi berlangsung dengan cepat, sehingga membingungkan dan menimbulkan ”kejutan budaya” bagi masyarakat. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.
Di dalam buku Sosiologi Pembangunan karangan Prof. Dr. Ny. Pudjiwati Sajogyo, ditelaah ciri-ciri masyarakat yang menjadi modern, artinya mempelajari proses perubahan penting yang terjadi dalam struktur sosial negara-negara yang menjadi modern.
Dikutip beberapa ciri masyarakat modern yang dikemukakan Prof. Selo Soemardjan, antara lain:
·        tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata;
·        2.kepercayaan yang kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat
Masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi serta keahlian yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan.
          Sedangkan ciri manusia modern yang menjadi penentu modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, antara lain:
·        manusia modern adalah orang yang bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru dan penemuan-penemuan baru;
·        siap menerima perubahan-perubahan;
·        percaya kepada keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

PENERAPAN TEKNOLOGI YANG MENYEBABKAN PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT

Pembangunan yang telah dilakukan di setiap desa-desa yang ada di wilayah Indonesia, utamanya pada masyarakat petani saat ini. Bentuk penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani merupakan implementasi dari pembangunan yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti di Indonesia.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian dan perubahan sosial masyarakat petani telah menciptakan cara dan sikap masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian. Secara tegas dikatakan bahwa teknologi tepat guna dalam pertanian yang diperkenalkan dipedesaan Jawa lebih banyak mengandalkan masukan modern dan membatasi tenaga kerja. Hanya saja pada masa selanjutnya, hal ini berbanding berbalik, yakni penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian semakin menambah kesempatan kerja, utamanya bagi kaum buruh tani. Bentuk lain dari hasil analisa mengenai cara dan sikap masyarakat petani ini adalah bahwa teknologi meningkatkan alternatif kita, penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam kemungkinan dan dapat mengubah kekuasaan relatif atau memudahkan menyadari nilai-nilai berbeda.
Penerapan teknologi tepat guna dalam pertanian saat ini telah mampu membentuk alternatif-alternatif baru bagi masyarakat petani dalam melakukan proses produksi pertanian, serta menjadikan masyarakat petani untuk dapat selalu mengkondisikan alam.
          Bila memperhatikan ciri-ciri masyarakat Indonesia, yaitu tingkat pendidikan formal yang kurang merata, kepercayaan yang kurang kuat pada teknologi sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat, banyaknya golongan profesi di masyarakat, serta kesiapan menerima perubahan-perubahan, khusus pemanfaatan teknologi baru, dalam meningkatkan kesejahteraannya, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat lamban untuk disebut sebagai masyarakat modern, khususnya masyarakat di daerah tertinggal dan daerah terbatas. Pengertian masyarakat di daerah tertinggal dan terbatas adalah masyarakat di wilayah/provinsi yang kurang memanfaatkan teknologi tepat guna untuk memajukan daerahnya, sehingga selalu mengalami krisis pangan dan sulit serta mahalnya layanan transportasi darat, laut maupun udara, sehingga kurang terjangkau informasi teknologi

Suku Baduy

Hasil gambar untuk suku baduy]

         Suku Baduy adalah nama salah satu kelompok masyarakat kecil yang bertempat tinggal di Kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten. Sebutan ‘Baduy’ sendiri diambil dari sebutan penduduk luar yang berawal dari peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab—merupakan arti dari masyarakat nomaden. Para penduduknya tidak mengenal pendidikan, benda telekomunikasi, listrik, bahkan alas kaki. Meskipun begitu, para penduduknya tergolong pintar dalam bertahan hidup dan berkreasi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
         Mata pencaharian utama mereka adalah bertani dan berladang, dan padi yang biasa ditanam disini adalah padi huma yang hanya panen sekali dalam setahun. Masa panen tersebut juga digunakan suku Baduy sebagai hitungan umur mereka. Namun jika panen gagal atau sedang kekurangan pemasukan, suku Baduy memiliki cara lain untuk memenuhi kebutuhan dengan membuat berbagai aksesori tradisional hasil buatan tangan yang nantinya dijual, seperti baju khas Baduy, gelang rotan, cincin akar, dan lain-lain.
         Masyarakat Baduy dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu Baduy dalam, Baduy luar, dan Baduy Dangka. Baduy dalam atau yang disebut juga dengan Tangtu, adalah masyarakat baduy yang menolak modernisasi secara ketat dan memegang teguh aturan-aturan adat. Ciri khas Tangtu adalah pakaian yang serba putih atau biru tua dengan ikat kepala putih.
         Penduduk suku Baduy merupakan penganut animisme atau pemujaan terhadap arwah nenek moyang, yang sering disebut sebagai Sunda Wiwitan. Inti dari kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak—yang disebut juga pikukuh (kepatuhan)—dengan konsep yaitu tidak adanya perubahan sedikit pun atau tanpa perubahan apapun. Namun seiring dengan berjalannya waktu, beberapa agama telah mulai masuk ke dalam suku Baduy seperti Islam, Hindu, dan Buddha yang sedikit banyak mempengaruhi.
          Meskipun anti teknologi, namun ikatan masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing. Hal ini juga yang membuat rutinnya kegiatan Seba di masyarakat Baduy, yaitu kegiatan yang diadakan setahun sekali untuk mengantarkan hasil bumi kepada Gubernur Banten. Orang Baduy juga biasa berkelana ke kota besar di sekitar mereka untuk berjualan dan hanya ditempuh dengan jalan kaki hingga berkilo-kilo meter. Dulu para orang Baduy hanya menggunakan sistem barter dalam memenuhi kebutuhan mereka, namun sekarang beberapa penduduknya telah menggunakan uang rupiah untuk berjualan.
           Karena tak adanya pembangunan jalan di desa Kanekes, maka lumpur dan bebatuan masih   mendominasi wilayah mereka dan bisa menjadi sangat licin sekaligus berbahaya bagi pengunjung yang tidak terbiasa berjalan di medan bebatuan—terutama ketika hujan.
          Pemerintah setempat pun pernah menawarkan pembangunan jalan di desa namun ditolak oleh masyarakat Baduy. Walaupun tanpa listrik dan teknologi yang menunjang, namun desa Kanekes cocok untuk dijadikan sebagai tempat wisata bagi anda yang berjiwa petualang dan suka terhadap kesunyian. Selain penduduk dan ketua adat yang ramah-ramah, disana anda bisa membeli oleh-oleh paling khas yaitu baju suku Baduy yang selalu dijahit hanya dengan menggunakan tangan dan benang tenunan asli hasil bumi Baduy.

Prio Himawan
1b115162

Sumber :
http://jadiberita.com/1796/suku-baduy-eksis-meski-anti-teknologi.html
http://himasio-unsyiah.blogspot.co.id/2011/11/pengaruh-teknologi-terhadap-perubahan.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upacara Adat Istiadat dan Pernikahan Masyarakat Minahasa

Karakteristik Pengembangan Organisasi

Siklus Perputaran Uang di Indonesia